Oleh ; Ming Ngampu, S.Pd
LABUAN BAJO — Beberapa waktu lalu, salah satu media lokal di Kabupaten Manggarai menerbitkan sebuah berita yang mengejutkan publik: kasus dugaan pelecehan seksual yang melibatkan seorang klerus yang juga berprofesi sebagai dosen terhadap seorang mahasiswi Unika St. Paulus Ruteng. Bak petir di siang bolong, kabar ini menghantam wajah Gereja Katolik lokal kita—baik Keuskupan Ruteng maupun Keuskupan Labuan Bajo.
Ini bukan kasus pertama. Sebelumnya telah ada sejumlah peristiwa serupa yang mencoreng nama baik gereja lokal. Seperti ungkapan lama, “Nila setitik merusak susu sebelanga.” Meski saya meyakini bahwa tindakan tersebut adalah perilaku oknum, bukan gambaran keseluruhan klerus—yang sebagian besar hidup taat dalam ajaran dan disiplin gereja—namun peristiwa ini wajib menjadi momentum refleksi dan evaluasi yang serius bagi gereja sebagai institusi.
Erosi Kepercayaan dan Luka Moral Umat
Setiap skandal yang melibatkan kaum klerus—baik penyalahgunaan kuasa, pelanggaran moral, maupun korupsi—selalu meninggalkan luka mendalam. Dampaknya tidak hanya meruntuhkan kepercayaan umat, tetapi juga menciptakan ruang hampa yang sering diisi skeptisisme dan jarak emosional terhadap institusi keagamaan.
Ketika sosok yang seharusnya menjadi panutan justru menjadi pelaku penyimpangan, otoritas moral agama ikut runtuh. Krisis ini pada akhirnya tidak berhenti pada rusaknya reputasi pemuka agama, melainkan menjalar pada perilaku umat, terutama generasi muda.
Sekularisasi sebagai Dampak Jangka Panjang
Sekularisasi tidak tumbuh dalam ruang kosong. Ia bertumbuh dari kekecewaan, hilangnya rasa hormat, serta ketidaksesuaian antara ajaran yang dikhotbahkan dan perilaku para pengembannya.
Di masa depan, kecenderungan ini bisa semakin mengkhawatirkan. Ketika umat menjauh dari gereja, mereka lebih mudah mencari pegangan hidup dari sumber moral alternatif yang kerap bersifat individualistik dan materialistis. Kebebasan pribadi kemudian dianggap lebih penting daripada norma kolektif yang selama ini menopang kohesi sosial.
Jika fenomena ini terjadi secara masif, masyarakat perlahan-lahan bisa kehilangan fondasi etis yang selama ini diperkuat oleh komunitas keagamaan.
Belajar dari Eropa: Ketika Gereja Kehilangan Otoritas Moral
Kita dapat bercermin dari kehidupan generasi muda di Eropa yang semakin menjauh dari gereja. Banyak penelitian menunjukkan bahwa skandal pelecehan seksual oleh klerus, penundaan penyelidikan, ketertutupan institusi gereja, dan penyalahgunaan keuangan menjadi faktor utama hilangnya kepercayaan publik.
Generasi muda Eropa tumbuh dengan kesadaran kritis terhadap keadilan, transparansi, dan integritas. Bagi mereka, agama dianggap tidak lagi relevan sebagai dasar moral. Mereka percaya dapat menjadi pribadi yang etis dan bermoral tanpa harus terikat pada institusi keagamaan.
Menariknya, banyak dari mereka bukanlah ateis. Mereka tetap mengakui keberadaan Allah, namun memilih fokus pada perbuatan baik ketimbang ritual keagamaan formal. Nilai etik universal seperti empati, solidaritas, dan kejujuran dianggap cukup sebagai kompas hidup.
Tetap Terhubung Dengan Kami:
Ikuti Kami
Subscribe
CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.









